Pertanian Bersatu

Tahu, tempe, kecap oncom dan tauco, salah satu produk turunan kedelai. Makanan tersebut bukanlah makanan pokok masyarakat Indonesia, namun hampir setiap masyarakat tidak pernah melewatkan dalam setiap makannya. Contoh sederhana peran kecap di dapur ibu-ibu. Mungkin akan terasa ada yang kurang jika bumbu rendang tanpa kecap, atau makan sate tanpa lumuran si hitam manis itu.
Seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah, bahwa kedelai perlu diperhatikan produktivitasnya. Dalam Tempo, 5 Agustus 2012, produksi kedelai Indonesia pada 1990 mencapai 1,4 juta ton dan impornya 541 ribu ton, bahkan pernah menjadi pengekspor kedelai. Data tersebut berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Tahun 2011 saja, produksi kedelai Indonesia hanya 850 ribu juta ton, sedangkan kebutuhan nasionalnya mencapai 2,8 juta ton. Artinya, Indonesia harus mengimpor sekitar 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan nasional tersebut.
Sungguh, ini merupakan penurunan yang patut menjadi bahan evaluasi. Permasalahan kedelai bukan kali yang pertama, tapi selalu berulang. Namun, pemerintah seakan tutup mata, tidak melihat permasalahan ini sebagai ancaman. Baru, tahun 2012, kedelai kembali “bertuah”. Pemerintah kelimpungan, solusi instan lah yang diambil dengan menurunkan bea masuk kedelai sampai nol persen.
Penyebab kemunduran produktivitas kedelai sangat beragam. Salah satunya, petani enggan menanam kedelai, karena dirasa tidak menguntungkan. Bagaimana tidak, terdapat kesenjangan harga akibat persaingan tidak fair antara kedelai lokal dan impor. Kedelai impor lebih murah karena Pemerintah Amerika Serikat, selaku eksportir, memberikan kredit ekspor kepada importir Indonesia dengan bunga rendah.
Petani meninggalkan kedelai, lahan kedelai pun secara otomatis menyusut. Pada 1992, terdapat sekitar 1,6 juta hektar, namun, saat ini lahan tersebut telah berkurang menjadi 678 ribu hektare.
Pemerintah tidak memiliki solusi lain, selain meningkatkan produksi kedelai nasional, kendati kedelai konsumsi itu Glycine Max (kedelai putih), yang merupakan tanaman subtropis, sulit ditanam di Indonesia. Jika produksi nasional meningkat, maka ketergantungan kita terhadap kedelai impor sedikit berkurang. Dengan begitu, proses pengontrolan akan lebih mudah dilakukan. Selain itu, perluasan lahan yang merupakan program pemerintah harus tetap dijalankan, mengingat masih banyak terdapat lahan terlantar di negara ini, sekitar 7,4 juta hektare (Tempo, 5 Agustus).
Selain peningkatan produksi, rasanya, wacana memfungsikan Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai buffer stock perlu dipertimbangkan. Jika itu terwujud, maka sistem kendali kedelai ada pada pemerintah. Tidak seperti sekarang. Penentu kendali ada di tangan pasar. Hal ini jelas membahayakan. Pasar bisa dengan semena-mena melakukan spekulasi harga, apalagi importir kedelai yang selama ini memegang kendali hanya segelintir saja jumlahnya.
Kalau sudah seperti ini, bagaimana sikap kita selaku mahasiswa pertanian? mari berdiskusi, semoga informasi ini menjadi manfaat.

Menteri Komunikasi dan Informasi BEM Faperta UNSOED

Categories: ,

Leave a Reply