Pertanian Bersatu


Selamat hari pahlawan! Apa maksud seorang menyapa kawannya dengan salam seperti itu setiap 10 November. Yah, memang siapa yang tidak tau dengan pertempuran Surabaya, dimana Bung Tomo bersama arek-arek pejuang begitu gigih mempertahankan tanah air dengan darah dan nyawa. Ooo.. mungkin, maksud dari sang kawan adalah mengingatkan tentang daya juang arek-arek dalam membela merah putih. Sejatinya kita selaku anak Bangsa, yang lahir di atas tanah yang diraih sendiri oleh semangat yang berkobar-kobar, harus selalu hidup dalam semangat perjuangan. Perjuangan yang dimaksud adalah kegigihan para pahlawan dalam menegakan negara yang merdeka, negara yang adil dan beradab. Negara yang bersatu dari sabang sampai merauke, tanpa pandang suku, agama, partai politik atau organisasi kemasyarakatan, serta yang terpenting tercipta negara yang masyarakatnya saling toleransi dan bergotong royong membangun kepentingan bersama.
            Lalu, kalo memang setiap kawan saling mengingatkan tentang itu pada setiap 10 November, kenapa negara yang konon kaya raya ini seakan mandek tak bergerak maju. Jepang, musuh kita selama 3,5 tahun dulu, sekarang sudah melesat menjadi bangsa yang berpengaruh di dunia. Padahal, dunia tau Jepang pada 1945 hancur lebur dibom atom Negara sekutu. (catatan : Jepang BUKAN PENJAJAH kita, kita tidak pernah dijajah siapapun, yang ada kita berperang dengan Portugis, Belanda beserta sekutu dan Jepang). Padahal jika kita selalu bersemangat dalam perjuangan persatuan, pastilah Negara ini akan selalu bergerak maju, karena dengan semangat persatuan, setiap elemen masyarakat akan berfikir untuk kemaslahatan Negara.
            Sebenarnya apakah selama ini peringatan hari pahlawan tidak ada gunanya? Atau cara mengingatkannya kurang tepat, sehingga tidak memicu para kawan-kawan muda untuk selalu berjuang dalam mewujudkan cita-cita bangsa? Entahlah.. yang terlihat saat ini adalah memang terjadi semangat bertempur dikalangan muda, bahkan tua, yaitu bertempur menggempur saudara sendiri. Tengok tragedi berdarah Lampung, tawuran siswa atau mahasiswa dan banyak bentrokan-bentrokan lain di belahan Nusantara. Terjadi pula semangat berdemokrasi dengan bertaburannya partai-partai politik. Namun dengan partai-partai tersebut tidak menjadikan Indonesia yang heterogen ini bersatu, malah terpecah-pecah berdasar kepentingannya masing-masing. Lihat saja sandiwar-sandiwara apik di senayan (tempat singgah sana para wakil rakyat), atau masing-masing partai berlomba-lomba meraih ‘korupsi award’. Lucunya,  sitem kepartaian ini juga dibangga-banggakan dikampus kita, Faperta Unsoed. Konon katanya biar sistem pemerintahan kampus, sama seperti sistem negara Indonesia. Bangga gontok-gontokan saling memegang kepentingan? Wow banget, kalo begitu.
            Pada akhirnya keadaan hanya begini-begini saja. Ditengah generasi boyband, ciyuss dan Wow, kebanyakan orang tak ubahnya menjadi individu-individu yang berfikir praktis dan latah. Jangankan berjuang berdarah-darah bertamengkan nyawa, berfikir untuk kepentingan banyak orang pun tak mau. Kebanyakan hanya berfikir bagaimana kepentingan individunya atau golongannya mulus tanpa putus. Sungguh kejam generasi ini..
            Baiklah, pada momentum yang berharga ini. Sejenak kita berfikir, yang sudah biarlah sudah. Lupakan! Kita ini, orang-orang keturunan para gerilyawan. Semangat dan nilai perjuangan selalu melekat dalam jiwa raga. Apalagi kita hidup berkeliaran di dalam institusi bertitel Panglima Besar Jenderal Soedirman. Rasanya ironis saja jika cucu-cucu Pak Dirman hanya bermentalkan ciyuss dan wow. Monggo, segera berfikir, pantaskah kita menyandang sebagai cucu para pahlawan yang bermentalkan semangat patriotisme? BUKTIKAN!
Read More …


Salam mahasiswa, salam sejahtera untuk kita semua.
            24 September, tanggal yang diperingati sebagai hari tani nasional. Berbagai golongan mahasiswa, terutama mahasiswa pertanian, memperingati hari tersebut dengan berbagai bentuk visualisasi gerakan yang berbeda. Aksi turun ke jalan, membuat retorika  dan press release, sudah barang tentu menjadi pilihan-pilihan yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Hal yang sama selalu berulang setiap tahun, walaupun dengan tema dan tuntutan yang berbeda sesuai isu yang sedang beredar atau kasus yang memang perlu diperjuangkan.
            Begitupun yang terjadi di kampus kita tercinta, Fakultas Pertanian Unsoed. Biasanya pada 24 September selalu menggelar aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan. Coretan di spanduk, orasi tuntutan dan aksi teatrikal, merupakan konten yang selalu digelarkan. Namun, seakan sebagai acara seremonial, aksi turun ke jalan tersebut tak berbekas. Selalu tidak ada follow up yang jelas. Aksi tersebut hanya dibuat supaya terlihat bahwa mahasiswa pertanian itu peduli dan bergerak, walupun tidak beresensi. Berbagai aksi seperti itu penting, jika diikuti dengan aksi lain yang lebih berorientasi terhadap sasaran, dalam hal ini masyarakat (terutama petani).
            Berangkat dari keprihatinan seperti itu, maka kita sebagai mahasiswa pertanian perlu merenungkan arah gerak kita kembali. Apakah bergerak untuk sebuah pengakuan? Atau bertindak atas dasar pengabdian?
            Bersama dengan ini, kami atas nama mahasiswa pertanian mengajak segenap mahasiswa, khususnya melalui Hima dan Unit di Faperta Unsoed ini untuk bergerak mengabdi kepada masyarakat desa. Kami telah membuat program bina desa di Desa Sikapat, Kec. Sumbang. Selanjutnya, ini menjadi ranah kawan-kawan Hima dan Unit dalam mengemas dan menjalankan program bina desa tersebut. Setiap Hima dan Unit di persilahkan untuk mengaplikasikan propesinya masing-masing.
            Harapan kami tidak besar, karena sadar bahwa kapasitas yang kita miliki belum begitu lengkap. Tapi jika semuanya dikerjakan secara bersama-sama (antara Hima dan Unit), maka hasilnya akan menjadi luar biasa. Trimakasih kepada Hima dan Unit yang telah berpartisipasi dalam mengabdikan sumberdayanya dalam program bina desa ini.
            Mari kita tanamkan esensi “Hari Tani” ini di setiap hari-hari kita, karena setiap hari kita berfikir untuk mereka, dan baru pada setiap minggunya kita visualisasikan dalam pengabdian di desa dengan penuh ketulusan.

            Hari-hari kita adalah peringatan hari tani, minggu-minggu kita adalah pengabdian untuk petani.. Kita beraksi bukan untuk eksistensi tapi kita beraksi untuk prestasi.
 -Tilik ndeso, Bangun ndeso-
Read More …




Berikut ini adalah Transparansi Biaya Pengambilan Transkrip dan Foto Yudisium untuk satu orang mahasiswa yang didapatkan oleh BEM KEMA FAKULTAS PERTANIAN dari Pembantu Dekan I Bpk. Dr.Ir.HERU ADI DJADMIKO M.P :


NO
URAIAN
JUMLAH BIAYA
1
BIAYA CETAK TRANSKRIP
Rp.15.000

2
FOTOKOPI TRANSKRIP UNTUK DILEGALISIR 10 LEMBAR +2 LEMBAR (UNTUK ARSIP)
Rp. 4800


3
BIAYA LEGALISIR TRANSKRIP 10 LEMBAR +2 LEMBAR (UNTUK ARSIP)
Rp 12.000


4
FOTO YUDISIUM 1 LEMBAR
Rp 5.000

5
DANA TAKTIS :
-          CETAK TRANSKRIP ULANG KARENA MAHASISWA SALAH NGISI DATA WISUDA ONLINE
-          FOTOKOPI TRANSKRIP PERBAIKAN
-          FOTO MAHASISWA YANG TIDAK DIAMBIL
Rp.3.200







*JUMLAH KESELURUHAN*
Rp 40.000



Adapun beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Bpk. Dr.Ir.HERU ADI DJADMIKO M.P selaku Pembantu Dekan I tentang adanya laporan pemungutan biaya legalisir ijasah dan transkrip yang meresahkan mahasiswa adalah : 

  1. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui tentang besarnya biaya yang dibebankan kepada mahasiswa yang ingin melegalisir transkrip mencapai angka Rp 50.000, yang beliau tahu biaya legalisir untuk 1 fotokopian itu sebesar Rp 1.000, 
  2. Beliau menyatakan bahwa besaran biaya transkrip di atas disusun oleh bawahan beliau, yaitu yang mengatur bagian pendidikan, sementara tidak ada pemberitahuan terkait Biaya Pengambilan Transkrip dan Foto Yudisium untuk satu orang mahasiswa kepada Beliau.
  3. Beliau menyatakan bahwa akan segera meminta penjelasan terkait Biaya Pengambilan Transkrip dan Foto Yudisium untuk satu orang mahasiswa kepada bawahan beliau (Bagian Pendidikan) dan setelah semua jelas, akan ada tindak lanjut berupa penetapan tertulis tentang Biaya Pengambilan Transkrip dan Foto Yudisium untuk satu orang mahasiswa dari Beliau selaku Pembantu Dekan I.
  4. Beliau menyatakan bahwa 10 lembar ijasah/transkrip per mahasiswa adalah awalan agar secara merata seluruh mahasiswa yang telah lulus langsung segera dapat memperoleh legalisir dan mengapa hanya 10 lembar ijasah/transkrip per mahasiswa agar prosesnya bisa lebih cepat dan dapat segera mempergunakannya. Beliau menambahkan, setelah 10 lembar ijasah telah dilegalisir , apabila mahasiswa masih membutuhkan maka dapat meminta kembali legalisir ke bagian pendidikan. Jadi sebenarnya tidak ada pembatasan, hanya memang bertahap prosesnya. 

Oleh :
Kementerian Advokasi BEM Faperta UNSOED
Read More …

Selamat datang di blog resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Blog resmi ini berfungsi sebagai media informasi dan diskusi yang akurat, detail dan bertanggungjawab prihal isu, berita maupun fakta seputar kampus. Bagi pembaca yang hendak berbagi informasi dan bahan diskusi dapat mengirimnya ke bemfp12@gmail.com maupun posting ke 'Obrolan Umum'.

Kami sebagai Admin hendak memberitahukan bahwa akan ada beberapa peraturan yang berlaku dalam blog ini yang mana bertujuan agar "Pencurahan Pemikiran" yang kita lakukan tetap sopan dan beradab. Diharapkan dengan adanya peraturan-peraturan nanti dapat menciptakan suasana yang kondusif tetapi tidak membatasi pemikiran dan pendapat pembaca.

BEM Faperta UNSOED
Read More …



Salam mahasiswa. Apa kabar kawan-kawan sekalian, mahasiswa Pertanian Unsoed. Berikut, kami akan memberikan informasi terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT). Informasi ini mungkin sudah tidak berarti lagi untuk sebagian kawan-kawan. Tapi kami perlu memberikan informasi terkait isu ini, supaya tidak dianggap Lembaga yang hanya duduk manis di belakang meja. Informasi berikut, dihimpun berdasarkan beberapa sumber dan keikutsertaan BEM KEMA FAPERTA dalam berbagai forum.
23 Mei 2012, melalui Kemenkominfo, BEM KEMA FAPERTA mendapat informasi langsung dari Dekan Fakultas Pertanian, UKT untuk Fakultas Pertanian sekitar Rp 3 juta. 14 Juni 2012, Presiden BEM KEMA FAPERTA, Kemenkominfo, Kemen. Advokasi dan Kemenlu, bersama BEM Unsoed, merumuskan perencanaan strategi untuk mengikuti audiensi UKT dengan Pimpinan Unsoed. 15 Juni 2012, BEM KEMA FAPERTA mengikutkan Kemenkominfo dan Kemen. Advokasi untuk mengikuti audiensi bersama Pimpinan Unsoed yang dihadiri, PR I, PR II, PR III dan staf ahli rektor.
Secara sederhana UKT atau SPP tunggal merupakan sistem pembiayaan perkuliahan yang dilakukan hanya satu pintu, selama masa kuliah (delapan semester). Jadi, seluruh biaya yang harus dibayarkan mahasiswa untuk mengikuti studi di universitas hanya SPP. Tidak ada lagi biaya sumbangan fasilitas pendidikan (BOPP, POM dll.), biaya KKN, Wisuda dan lainnya yang berhubungan dengan akademik, semuanya di jadikan satu dalam SPP tunggal atau UKT.
UKT juga merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menutup biaya oprasional, yang sejauh ini dibebankan pada mahasiswa. Universitas dituntut untuk menghitung jumlah pengeluaran total universitas selama setahun, kemudian dibagi kembali, mana yang menjadi tanggungan pemerintah (melalui BOPTN) dan mana yang menjadi tanggungan masyarakat atau mahasiswa. Setelah didapatkan biaya tanggungan mahasiswa, maka biaya tersebut dibagi kembali pada seluruh mahasiswa di universitas tersebut. Selanjutnya aturan perhitungan didasarkan atas unit cost. Unit cost dalam penentuan UKT merupakan metode perhitungan berdasarkan kebutuhan mahasiswa selama kuliah. Unit cost ditentukan mulai dari tingkat program studi, jurusan, fakultas sampai tingkat universitas. 
Menurut surat keputusan Rektor Universitas Jenderal Soedirman, nomor : KEP.654/UN23/PP.01.00/2012 tentang penetapan uang kuliah tunggal bagi mahasiswa Unseod tahun akademik 2012/2013, UKT untuk Program studi Agribisnis, Agrobisnis, Agroteknologi, Teknik Pertanian, Perencanaan Sumberdaya Lahan serta Ilmu dan Teknologi Pangan sebesar Rp 3 juta/semester. Program studi Agribisnis (alih jenjang), Agribisnis (paralel) dan Agroteknologi (paralel) sebesar Rp 4,5 juta/semester. 
Untuk tahun 2012, tidak semua universitas sudah menggunakan sistem UKT, karena banyak diantaranya PTN yang belum siap. Menurut informasi yang didapatkan oleh BEM KEMA FAPERTA, sejauh ini yang resmi memberlakukan sistem UKT hanya Unsoed dan UNS Solo. Untuk PTN yang sudah memberlakukan UKT, pemerintah, melalui Kemendikbud, akan memeberikan dana bantuan Biaya Oprasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Pada audiensi 15 Juni 2012, PR II Unsoed, mengatakan bahwa Unsoed mendapatkan dana BOPTN sebesar 7,6 Miliar.
Berdasarkan perhitungan, Unsoed akan mengalami defisit dengan menggunakan sistem UKT. Pada audiensi 15 Juni 2012, dipaparkan, total revenue Unsoed Rp 23, 28 Miliar dan total cost sebesar Rp 40 Miliar, sehingga Unsoed akan mengalami defisit sebesar Rp 16, 72 Miliar. Atas dasar alasan tersebut, Unsoed memohon perizinan kepada pemerintah untuk mengikutkan sumbangan murni dalam penarikan UKT. Sampai informasi ini diturunkan, BEM KEMA FAPERTA belum mendapatkan seperti apa wujud perizinan pemerintah atas sumbangan murni tersebut. 
Sumbangan murni bersifat sukarela, jumlahnya tidak ditentukan Universitas. Pihak mahasiswa bebas menetukan nominal berapapun dari jumlah biaya UKT yang harus dibayar. Contoh kasus, pada jalur penerimaan mahasiswa baru jalur undangan, terdapat 3 dari 660 undangan, yang mengisi sumbangan murni. Menurut PR II, “ketiga-tiganya mengisi 500 ribu”.  Salah satu dari 3 undangan tersebut adalah mahasiswa Peternakan. Dalam SK Rektor Unsoed tentang UKT 2012/2013, Peternakan dikenakan UKT Rp 2,5 juta, dengan tamabahan sumbangan murni Rp 500 ribu, maka mahasiswa tersebut selama kuliah membayar UKT Rp 3 juta setiap semesternya.
Selain sumbangan murni, Unsoed juga membuka keringanan biaya UKT, dengan syarat berupa surat keterangan tidak mampu dari pemerintah desa dan sejenisnya. Pada jalur undangan, dari 10 calon mahasiswa yang mengajukan keringanan, hanya 2 yang dibebaskan dari biaya UKT, yaitu dari Jurusan Kedokteran Umum dan Hubungan Internasional.
Baru seperti ini, informasi yang dapat BEM KEMA FAPERTA himpun. Informasi ini setidaknya bisa memberikan gambaran umum, seperti apa lika-liku UKT di Kampus kita tercinta ini. Ini merupakan bentuk kerjasama BEM KEMA FAPERTA bersama beberapa pihak dalam mrngumpulkan informasi. Khususnya Kemen. Advokasi, dengan ini mencoba memberikan kawalan, sebatas kapabelitias dan jalur yang ada. Melalui pantauan di lapangan, ada beberapa opini dari mahasiswa baru, maupun orang tua mahasiswa. Bagi mereka yang memiliki kapabilitas finansial yang cukup, UKT tidak memeberatkan, bahkan meringankan. Tetapi, bagi banyak pihak yang memiliki kurang dukungan finansial, UKT dirasa memberatkan.
Semoga menjadi bahan renungan, bahwa pendidikan di tanah air ini memang belum sepenuhnya diperuntukan untuk seluruh masyarakat.

Oleh :
Read More …

Tahu, tempe, kecap oncom dan tauco, salah satu produk turunan kedelai. Makanan tersebut bukanlah makanan pokok masyarakat Indonesia, namun hampir setiap masyarakat tidak pernah melewatkan dalam setiap makannya. Contoh sederhana peran kecap di dapur ibu-ibu. Mungkin akan terasa ada yang kurang jika bumbu rendang tanpa kecap, atau makan sate tanpa lumuran si hitam manis itu.
Seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah, bahwa kedelai perlu diperhatikan produktivitasnya. Dalam Tempo, 5 Agustus 2012, produksi kedelai Indonesia pada 1990 mencapai 1,4 juta ton dan impornya 541 ribu ton, bahkan pernah menjadi pengekspor kedelai. Data tersebut berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Tahun 2011 saja, produksi kedelai Indonesia hanya 850 ribu juta ton, sedangkan kebutuhan nasionalnya mencapai 2,8 juta ton. Artinya, Indonesia harus mengimpor sekitar 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan nasional tersebut.
Sungguh, ini merupakan penurunan yang patut menjadi bahan evaluasi. Permasalahan kedelai bukan kali yang pertama, tapi selalu berulang. Namun, pemerintah seakan tutup mata, tidak melihat permasalahan ini sebagai ancaman. Baru, tahun 2012, kedelai kembali “bertuah”. Pemerintah kelimpungan, solusi instan lah yang diambil dengan menurunkan bea masuk kedelai sampai nol persen.
Penyebab kemunduran produktivitas kedelai sangat beragam. Salah satunya, petani enggan menanam kedelai, karena dirasa tidak menguntungkan. Bagaimana tidak, terdapat kesenjangan harga akibat persaingan tidak fair antara kedelai lokal dan impor. Kedelai impor lebih murah karena Pemerintah Amerika Serikat, selaku eksportir, memberikan kredit ekspor kepada importir Indonesia dengan bunga rendah.
Petani meninggalkan kedelai, lahan kedelai pun secara otomatis menyusut. Pada 1992, terdapat sekitar 1,6 juta hektar, namun, saat ini lahan tersebut telah berkurang menjadi 678 ribu hektare.
Pemerintah tidak memiliki solusi lain, selain meningkatkan produksi kedelai nasional, kendati kedelai konsumsi itu Glycine Max (kedelai putih), yang merupakan tanaman subtropis, sulit ditanam di Indonesia. Jika produksi nasional meningkat, maka ketergantungan kita terhadap kedelai impor sedikit berkurang. Dengan begitu, proses pengontrolan akan lebih mudah dilakukan. Selain itu, perluasan lahan yang merupakan program pemerintah harus tetap dijalankan, mengingat masih banyak terdapat lahan terlantar di negara ini, sekitar 7,4 juta hektare (Tempo, 5 Agustus).
Selain peningkatan produksi, rasanya, wacana memfungsikan Badan Usaha Logistik (Bulog) sebagai buffer stock perlu dipertimbangkan. Jika itu terwujud, maka sistem kendali kedelai ada pada pemerintah. Tidak seperti sekarang. Penentu kendali ada di tangan pasar. Hal ini jelas membahayakan. Pasar bisa dengan semena-mena melakukan spekulasi harga, apalagi importir kedelai yang selama ini memegang kendali hanya segelintir saja jumlahnya.
Kalau sudah seperti ini, bagaimana sikap kita selaku mahasiswa pertanian? mari berdiskusi, semoga informasi ini menjadi manfaat.

Menteri Komunikasi dan Informasi BEM Faperta UNSOED
Read More …


25 – 27 Juli 2012, sejumlah pengrajin tempe di beberapa tempat, salah satunya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, berhenti berproduksi. Langkah tersebut dilaksanakan sesuai himbaauan dan kesepakatan anggota Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia, merespon meroketnya harga kedelai.
Memprihatinkan, bahkan di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Banyumas, sekitar 15 % pengrajin tempe (85 dari 564 pengrajin), berhenti beroprasi lantaran keuntungan yang didapatkan tidak sebanding dengan omzet. Sementara di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, sebagian pengrajin yang berhenti produksi beralih menjadi buruh di rumah industri tahu yang masih bertahan.
Dari segi konsumen, mengkonsumsi tahu tempe sebagai lauk pauk, merupakan alternatif yang bijak dilakukan oleh masyarakat golongan menengah bawah. Harga terjangkau, dengan kandungan gizi lengkap dan memiliki banyak manfaat kesehatan, membuat tahu tempe menjadi prioritas. Namun, naiknya harga kedelai secara otomatis akan mendongkrak harga tahu tempe. Masyarakat golongan bawah pun waswas, takut primadona mereka sulit bahkan tidak bisa dikonsumsi.
Kondisi seperti inilah, gambaran dampak dari ke-tidak-mandirian Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bahan pangannya sendiri. Kenaikan harga kedelai yang terus merangkak, Rp 8000,- /kg saat ini dari Rp 6000,- /kg tiga pekan sebelum Ramadhan (AntaraNews, 24 Juli 2012), membuat para pengrajin tahu tempe menjerit tanpa bisa berbuat banyak selain menghentikan produksi atau bertahan dengan berbagai resiko kerugian.
Secara global, permasalahan ini timbul karena pengaruh iklim ekstrim melanda sejumlah negara produsen bahan pangan biji-bijian, khususnya kekeringan di Amerika Serikat dan Rusia. Produksi kedelai AS turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton dan produksi gandum Rusia anjlok 3 juta ton (Kompas, 24 Juli 2012).
Hal ini seharusnya bisa diatasi oleh pemerintah, jika stok dalam negeri memadai, sehingga stabilitas harga nasional bisa terkendali. Kenyataannya, impor dipilih pemerintah sebagai kebijakan instan, dengan alasan produksi lokal tidak bisa menjawab permasalahan.
Evaluasi Untuk Mandiri
Pada akhirnya, kasus kedelai membuat kita sadar, ketergantungan kebutuhan bahan pangan terhadap impor menjadi pelajaran dan peringatan bagi permasalahan pangan bangsa kita. Intensifikasi pertanian mutlak dilakukan untuk mendongkrak produksi nasional.
Peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri bukan urusan Kementrian Pertanian saja, namun urusan banyak pihak. Permasalahan ini harus diselesaikan secara multisektoral. Konsep panca usaha tani yang meliputi pemilihan dan penggunaan bibit unggul, pengolahan lahan secara tepat, pengaturan irigasi, pemupukan sesuai aturan serta pemberantasan hama dengan baik, perlu direnungkan kembali dan dijalankan secara benar. Pembangunan infrastruksur pendukung haruslah sejalan dengan pengembangan produksi. Regulasi pertanian dan kontrol pasar adalah faktor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Kasus kedelai sekarang, merupakan potret permasalahan pangan dalam negeri yang masih belum bisa mandiri. Banyak sektor pangan lain memiliki permasalahan serupa, bergantung pada komoditas impor dan “mandulnya” produksi lokal. Seperti singkong, yang pada April dan Mei 2012 Indonesia kembali impor, dari Cina dan Vietnam. Beras, komoditas pangan yang menjadi perhatian khusus pemerintah. Setiap bulan perkembangan beras nasional di kaji dan dievaluasi, apakah perlu impor atau tidak. Banyak komoditas lain yang perlu diperhatikan dan didongkrak produksi nasionalnya.
Apakah intensifikasi pertanian untuk mewujudkan mandiri pangan bangsa ini bisa diwujudkan?. Meminjam istilah jawa, sing ubet, ngeliwet (yang bekerja ulet tentu akan menanak nasi), jika segala sesuatu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tentu akan membuahkan hasil yang baik.

Menteri Komunikasi dan Informasi BEM Faperta UNSOED

Read More …