Pertanian Bersatu


25 – 27 Juli 2012, sejumlah pengrajin tempe di beberapa tempat, salah satunya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, berhenti berproduksi. Langkah tersebut dilaksanakan sesuai himbaauan dan kesepakatan anggota Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia, merespon meroketnya harga kedelai.
Memprihatinkan, bahkan di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran, Banyumas, sekitar 15 % pengrajin tempe (85 dari 564 pengrajin), berhenti beroprasi lantaran keuntungan yang didapatkan tidak sebanding dengan omzet. Sementara di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, sebagian pengrajin yang berhenti produksi beralih menjadi buruh di rumah industri tahu yang masih bertahan.
Dari segi konsumen, mengkonsumsi tahu tempe sebagai lauk pauk, merupakan alternatif yang bijak dilakukan oleh masyarakat golongan menengah bawah. Harga terjangkau, dengan kandungan gizi lengkap dan memiliki banyak manfaat kesehatan, membuat tahu tempe menjadi prioritas. Namun, naiknya harga kedelai secara otomatis akan mendongkrak harga tahu tempe. Masyarakat golongan bawah pun waswas, takut primadona mereka sulit bahkan tidak bisa dikonsumsi.
Kondisi seperti inilah, gambaran dampak dari ke-tidak-mandirian Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bahan pangannya sendiri. Kenaikan harga kedelai yang terus merangkak, Rp 8000,- /kg saat ini dari Rp 6000,- /kg tiga pekan sebelum Ramadhan (AntaraNews, 24 Juli 2012), membuat para pengrajin tahu tempe menjerit tanpa bisa berbuat banyak selain menghentikan produksi atau bertahan dengan berbagai resiko kerugian.
Secara global, permasalahan ini timbul karena pengaruh iklim ekstrim melanda sejumlah negara produsen bahan pangan biji-bijian, khususnya kekeringan di Amerika Serikat dan Rusia. Produksi kedelai AS turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton dan produksi gandum Rusia anjlok 3 juta ton (Kompas, 24 Juli 2012).
Hal ini seharusnya bisa diatasi oleh pemerintah, jika stok dalam negeri memadai, sehingga stabilitas harga nasional bisa terkendali. Kenyataannya, impor dipilih pemerintah sebagai kebijakan instan, dengan alasan produksi lokal tidak bisa menjawab permasalahan.
Evaluasi Untuk Mandiri
Pada akhirnya, kasus kedelai membuat kita sadar, ketergantungan kebutuhan bahan pangan terhadap impor menjadi pelajaran dan peringatan bagi permasalahan pangan bangsa kita. Intensifikasi pertanian mutlak dilakukan untuk mendongkrak produksi nasional.
Peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri bukan urusan Kementrian Pertanian saja, namun urusan banyak pihak. Permasalahan ini harus diselesaikan secara multisektoral. Konsep panca usaha tani yang meliputi pemilihan dan penggunaan bibit unggul, pengolahan lahan secara tepat, pengaturan irigasi, pemupukan sesuai aturan serta pemberantasan hama dengan baik, perlu direnungkan kembali dan dijalankan secara benar. Pembangunan infrastruksur pendukung haruslah sejalan dengan pengembangan produksi. Regulasi pertanian dan kontrol pasar adalah faktor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Kasus kedelai sekarang, merupakan potret permasalahan pangan dalam negeri yang masih belum bisa mandiri. Banyak sektor pangan lain memiliki permasalahan serupa, bergantung pada komoditas impor dan “mandulnya” produksi lokal. Seperti singkong, yang pada April dan Mei 2012 Indonesia kembali impor, dari Cina dan Vietnam. Beras, komoditas pangan yang menjadi perhatian khusus pemerintah. Setiap bulan perkembangan beras nasional di kaji dan dievaluasi, apakah perlu impor atau tidak. Banyak komoditas lain yang perlu diperhatikan dan didongkrak produksi nasionalnya.
Apakah intensifikasi pertanian untuk mewujudkan mandiri pangan bangsa ini bisa diwujudkan?. Meminjam istilah jawa, sing ubet, ngeliwet (yang bekerja ulet tentu akan menanak nasi), jika segala sesuatu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tentu akan membuahkan hasil yang baik.

Menteri Komunikasi dan Informasi BEM Faperta UNSOED

Categories: ,

Leave a Reply